Kamis, 14 April 2011

IMPLIKASI PENCABUTAN HAK ATAS TANAH TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA

IMPLIKASI PENCABUTAN HAK ATAS TANAH
TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
Oleh
Jono Parulian Sitorus, S.H
ABSTRAK
Kepemilikan hak atas tanah merupakan hak dasar yang juga merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pencabutan kepemilikan hak atas tanah oleh presiden dilakukan untuk kepentingan umum. Perlindungan subjek hak atas dalam menghadapi pencabutan hak didasarkan kepada pemahaman pengertian kepentingan umum. Kepentingan umum merupakan suatu yang abstrak, mudah dipahami secara teoritis, tetapi menjadi sangat kompleks ketika diimplementasikan.
Kata kunci : pencabutan hak atas tanah, kepentingan umum, hak dasar, hak asasi manusia, negara hukum.

A.
B. Pendahuluan
Kebijakan publik telah ditetapkan oleh pemerintah mengenai kewenangan pemerintah untuk melakukan pencabutan hak atas tanah demi kepentingan umum dengan telah dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang pengadaan tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (untuk selanjutnya ditulis Perpres No. Tahun 2005). Menurut catatan Kompas, ketentuan pencabutan hak atas tanah ini ternyata tidak jauh beda dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Keoentingan Umum, yang pernah dikeluarkan oleh Presiden Soeharto. Baik Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 maupun Perpres No. 36 Tahun 2001, sama-sama merujuk pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda yang ada diatasnya (Kompas, 8 Mei 2005).
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tersebut dikeluarkan dengan memberi pengaturan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya. Menurut Perpres No. 36 Tahun 2005, pencabutan hak atas tanah dilakukan oleh Presiden atas Permintaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan menteri dari instansi yang memerlukan tanah tersebut serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Terbitnya Perpres No. 36 Tahun 2005 ini disambut pro dan kontra dari berbagai pihak. Sambutan baik diberikan oleh Departemen Pekerjaan Umum, sebab kebijakan ini akan memudahkan dan melancarkan proses pembebasan lahan untuk pembangunan infrastuktur. Seringkali hambatan yang dihadapi oleh Departemen Pekerjaan Umum di lapangan adalah makin maraknya pengalihan kepemillikan lahan pada lokasi yang hendak di bangun infrastuktur. Pengalihan ini membuat harga tanah pun meningkat sampai ratusan persen dari nilai jual objek pajak (NJOP). Banyak usaha dan cara yang digunakan oleh masyarakat yang mengklaim sebagai pemilik tanah guna terpenuhi harga jual yang diinginkan. Dalam pembangunan proyek oleh pemerintah seringkali pemerintah menghadapi masalah yaitu banyak spekulan tanah yang melakukan aksinya dengan membeli lahan-lahan tersebut sebelum proyek dilaksanakan. (Kompas, 8 Mei 2005).
Sebaliknya, Perpres No. 36 Tahun 2005 membuat ribuan bahkan puluhan ribu warga dari 13 kelurahan di Jakarta Timur dan Jakarta Utara yang terkena proyek Banjir Kanal Timur menjadi semakin resah, yang selama ini justru diombang-ambingkan dengan proses pembebasan lahan yang tidak transparan (Kompas, 9 Mei 2005). Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) berpendapat bahwa penegasaan kembali ketentuan lama bahwa demi kepentingan umum, hak atas tanah milik seseorang atau instansi bisa dicabut oleh negara dikhawatirkan akan merugikan para pemilik tanah seperti pengalaman masa lalu. Pencabutan hak atas tanah untuk proyek besar dinilai sangat merugikan pemilik tanah, seperti pengalaman dalam kasus pembangunan Waduk Kedung Ombo.
Selanjutnya dikatakan pada masa reformasi saat ini harus ada revisi terhadap ketentuan yang mengatur tentang hak atas tanah dengan memberikan jaminan terhadap kepemilikan tanah. Dengan revisi tersebut, bukan berarti hak milik atas tanah tidak bisa dicabut, tetapi prosesnya tidak semudah di zaman Orde Baru, karena harus melewati aturan yang ketat (Kompas, 9 Mei 2005).
Dalam masa refomasi ini banyak masyarakat layak terkejut dengan dikeluarkannya kebijakan publik yang dituangkan dalam Perpres No. 36 Tahun 2005. Keterkejutan itu beralasan, karena kita semua tidak mengira bila pemerintah mengeluarkan peraturan di tengah harapan berjalannya proses demokrasi dan penguatan hak-hak rakyat sipil. Lahirnya Perpres No. 36 Tahun 2005, mengingatkan orang pada praktek-praktek pemerintahan Orde Baru dalam mengambil paksa tanah-tanah rakyat baik yang di kota maupun di desa dengan mengatasnamakan pembangunan, sehingga menimbulkan penggusuran dan konflik agraria.
Kalau kita perhatikan bahwa Perpres No. 36 Tahun 2005 dapat dikatakan merupakan kelanjutan kebijakan publik di masa pemerintahan Orde Baru seperti tertuang dalam surat Menteri Dalam Negeri 3 Desember 1975 Nomor 12/108/12/1975 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembebasan Tanah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2/1976 tentang Penggunaan Cara Pembebasan Cara Pembebasan Tanah Untuk Swasta,serta beberapa peraturan lain yang memperkuat kedua peraturan tersebut.dengan demikian, sebenarnya hingga saat ini tidak ada suatu perbaikan kebijakan publik tentang pertanahan bagi rakyat, malah justru sebaliknya terjadi proses penyingkiran rakyat atas tanahnya sendiri semakin sistematis.
Sistem pemerintahan negara sebagaimana yang dicantumkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) diantaranya menyatakan prinsip, bahwa "Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat)" dan "Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Elemen pokok negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap "fundamental rights". Dengan demikian, berarti bahwa tiada negara hukum tanpa pengakuan dan perlindungan terhadap "fundamental rights".
Secara sederhana, konstitusi diartikan sebagai sejumlah ketentuan hukum yang disusun secara sistematis untuk menata dan mengatur garis besar struktur dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan, termasuk kewenangan dan batas kewenangan lembaga tersebut (Wignjosoebroto, 2002:403). Ide konstitusionalisme berkembang di Eropa berdasarkan 2 esensi, yaitu :
1. konsep "negara hukum", yang menyatakan bahwa kewibawaan hukum secara universal mengatasi kekuasaan negara, dan
2. konsep hak-hak sipil warga negara, yang menyatakan bahwa kebebasan warga negara dijamin oleh konstitusi dan kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi serta kekuasaan inipun hanya mungkin memperoleh legitimasinya dari konstitusi saja (Wignjosoebroto, 2002:405)
Menurut idiom konstitusionalisme, setiap wujud kekuasaan yang mempunyai dasar pembenarannya menurut hukum disebut kewenangan. Sebaliknya setiap ekspresi kekuasaan yang tidak ada dasar konstitusionalnya atau tidak ada dasar hukumnya dalam perundang-undangan haruslah dikatakan kesewenang-wenangan (Wignjosoebroto, 2002:405). Dalam kehidupan dimana hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral konstitusionalme, yaitu menjamin kebebasan dan hak warga, maka menaati hukum dan konstitusi pada hakekatnya menaati imperatif yang terkandung sebagai subtansi maknawi di dalamnya. Maksudnya "imperatif" adalah hak-hak warga yang asasi harus dihormati dan ditegakkan oleh pengembang kekuasaan negara dimanapun dan kapanpun, juga ketika warga menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau untuk mempengaruhi jalannya proses pembuatan kebijakan publik (Wignjosoebroto, 2002:405).
Hukum pada umumnya menentukan hak dan kewajiban seseorang. Menurut cara pandang individualistik, maka hukum yang digunakan untuk menegakkan hak asasi manusia, yang secara garis besar sesuai dengan ajaran John Locke adalah life, liberti dan properti. Ketiga hak asasi manusia yang paling utama ini menjadi objek utama hukum dan menumbuhkan hak bagi seeorang yang harus dilindungi. Hak asasi ini dikembangkan dan dijamin oleh negara di setiap aspek kehidupan manusia. Penerapan hak asasi manusia di bidang ideologi dan politik menumbuhkan hak ekonomi, serta penerapan di bidang sosial-budaya menumbuhkan hak sosial budaya.
Berbeda dengan cara pandang individualistik yang bisa mengarah kepada situasi survival of the fittes, maka cara pandang kita berdasarkan asas kekeluargaan. Dengan demikian, semua hak dan kewajiban bersumber dari konstitusi, bukan bersumber dari hak asasi perseorangan. Hak dan kewajiban konstitusional merupakan hasil kesepakatan dari rakyat. Di dalam cara pandang integralistik Indonesia, pengembangan hak dan kewajiban konstitusional penyelenggara negara, warga negara dan penduduk dituangkan ke dalam tatanan-tatanan kehidupan yang nilai-nilai dasar setiap tatanan kehidupan tersebut dituangkan di dalam UUD 1945. Secara integral dengan tatanan kehidupan dirumuskan hak dan kewajiban penyelenggara negara dan penduduk, sehingga terbentuklah masyarakat yang bersifat demokratis, berkeprimanusiaan, dan berkeadilan sosial.
C. Permasalahan
Tanah merupakan unsur yang paling vital bagi proyek pembangunan infra stuktur, apalagi proyek tersebut membutuhkan areal tanah yang luas. Berbagai cara yang disediakan oleh hukum untuk memperoleh tanah yang diperlukan yaitu melalui prosedur pemindahan hak, pembebasan tanah dan pencabutan hak. Penguasaan dan penggunaan oleh siapapun untuk keperluan apapun harus ada landasan haknya. Penguasaan dan penggunaan yang dihaki dengan salah satu hak yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (selanjutnya ditulis UUPA) dilindungi oleh hukum terhadap gangguan dari pihak manapun baik dari pihak sesama anggota masyarakat maupun dari pihak pemerintah sekalipun, jika gangguan itu tidak ada dasar hukumnya.
Dalam keadaan biasa tanah tersebut hanya dapat diperoleh atas persetujuan dari pihak pemilik hak atas tanah, melalui prosedur pemindahan hak atau pembebasan tanah. Tidak dibenarkan pihak pemilik hak atas tanah dipaksa untuk menyerahkan tanahnya. Hanya dalam keadaan memaksa, jika jalan musyawarah tidak dapat menghasilkan kesepakatan,sedang tanah yang bersangkutan benar-benar diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum, pemerintah (dalam hal ini Presiden) oleh hukum diberi kewenangan unutk mengambil tanah tersebut secara paksa melalui prosedur yang dikenal sebagai acara pencabutan hak atas tanah.
Persoalannya adalah negara kita adalah negara hukum, dan negar yang berdasarkan konstitusi, dimana mempunyai elemen pokok berupa pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan demikian, tentu menimbulkan permasalahan, yaitu : bagaimana implikasi prosedur pencabutan hak atas tanah berdasarkan Perpres No. 36 Tahun 2005 terhadap perlindungan hak asasi manusia.
D. Pembahasan
1. Hak asasi manusia dan hak atas tanah
Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut (Rahardjo, 2000 : 53).
Dengan demikian, hak itu merupakan suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum, sehingga memungkinkan seseorang menunaikan kepentingan tersebut. Seperti dinyatakan oleh Allen : "The legally guarenteds power to realisean interst".
Oleh karena itu implikasi dari definisi tentang hak tersebut antara lain :
a. hak adalah suatu kekuasaan, yaitu suatu kemampuan untuk memodifikasi keadaan.
b. Hak merupakan jaminan yang diberikan oleh hukum.
c. Penggunaan hak menghasilkan suatu keadaan yang berkaitan langsung dengan kepentingan pemilik hak. (Ali, 1996:242)
Dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal teori atau ajaran untuk menjelaskan keberadaan hak, antara lain :
a. Belangen Theorie (teori kepentingan) menyatakan bahwa hak adalah kepentingan yang terlindungi. Salah satu penganutnya adalah Rudolf von Jhering, yang berpendapat bahwa hak itu suatu kepentinagn yang penting bagi seseorang yang dilindungi oleh hukum, atau suatu kepentingan yang terlindungi.
b. Wilmacht Theorie (teori kehendak), yaitu adalah kehendak yang dilengkapi oleh kehendak. Salah satu penganutnya adalah Bernhard Winscheid, yang menyatakan bahwa hak itu suatu kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan dan diberi oleh tata tertib hukum kepada seseorang. Berdasarkan kehendak seseorang dapat mempunayai rumah, mobil, tanah dan sebagainya.
c. Teori fungsi sosial yang dikemukakan oleh Leon Duguit, yang menyatakan bahwa tidak ada seseorang manusiapun yang mempunyai hak. Sebaliknya, di dalam masyarakat, bagi manusia hanya ada satu tugas sosial. Tata tertib hukum tidak didasarkan atas hak kebebasan manusia, tetapi atas tugas sosial yang harus dijalankan oleh anggota masyarakat (Mas, 2004:32 - 33).
Sedangkan dilihat dari sudut kewenangan, maka pengertian hak berintikan kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu berkenaan dengan sesuatu atau terhadap subjek hukum tertentu atau semua subjek hukum tanpa halangan atau gangguan dari pihak manapun, dan kebebasan tersebut memiliki kewenang-wenangan untuk melakukan perbuatan tertentu, termasuk menuntut sesuatu (Kusumaatmadja dan Sidharta, 2000 : 90).
Menurut Satjipto Rahardjo bahwa suatu kepentingan merupakan sasaran dari dan bukan hanya karena ia dilindungi oleh hukum, tetapi juga karena pengakuan terhadapnya. Hal ternyata tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan, melainkan juga kehendak (Rahardjo, 2000 : 53). Kalau saya memiliki sebidang tanah, maka hukum memberikan hak kepada saya dalam arti bahwa kepentingan saya atas tanah tersebut mendapatkan perlindungan. Perlindungan yang diberikan itu tidak hanya ditujukan kepada kepentingan saya, tetapi juga terhadap kehendak saya mengenai tanah itu. Maksudnya saya bisa memberikan atau mewariskan tanah itu kepada orang lain dan hal itupun termasuk kedalam hak saya. Jadi tidak hanya kepentingan saya yang mendapat perlindungan, melainkan juga kehendak saya.
Ada beberapa karakteristik yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Dengan hak memungkinkan pemiliknya untuk melakukan kewenangan. Dalam hal ini kewenanagn menimbulkan adanya keterikatan pihak lain. Keterikatan pihak lain inilah yang disebut kewajiban.
2. Hak bukan hanya merupakan suatu kewenangan tertentu, melainkan juga untuk melindungi suatu kepentingan tertentu. Kepentingan tersebut harus kongkrit.
3. Dalam mempertahankan haknya, seseorang dapat mengajukan tuntutan hak (gugatan) ke pengadilan.
4. Kewenangan yang diberikan oleh hak bukan hanya memberikan kewajiban kepada pihak lain, melainkan juga memberikan kewajiban kepada yang mempunyai hak tersebut agar tidak terjadi "penyalahgunaan hak".
Persoalannya sekarang adalah apakah hak atas tanah itu dapat dideskripsikan sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Istilah "Hak Asasi Manusia" itu sendiri perlu penjernihan. Di Indonesia penggunaan kata hak asasi manusia (disingkat HAM) sudah sangat luas digunakan, bahkan juga sudah diresmikan dengan adanya undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 : tentang hak asasi manusia (UU HAM). Kalaupun perlu adanya penjernihan maksudnya tidak lain untuk mencegah adanya kerancuan dalam pemahaman. Kepustakaan hukum selalu menggunakan istilah hak-hak dasar (terjemahan dari istilah grondrechten, fundamental, rights) dan Hak-hak Manusia (terjemahan dari istilah mensenrechten, human right). Kedua macam hak itu berbeda satu dari yang lain. Kekurangcermatan terjadi, karena dua hak tersebut ditulis secara 'interchangeable' serta nampaknya harus berlanjut (Abdul Gani, 1994 : 2).
Mengikuti pemikiran Meuwissen, Hak-Hak Asasi Manusia memiliki Pengertian yang sangat luas sehingga menunjuk pada hak-hak yang memperoleh pengakuan secara internasional, atau dipahami sebagai hak-hak yang dibela dan dipertahankan secara internasional. Sedangkan hak-hak dasar hanya mempunyai kaitan erat dalam suatu negara bangsa atau hak-hak yang diakui melalui hukum nasional. Selanjutnya, Konotasi Hak-hak asasi manusia berkaitan dengan asas-asas ideal dan politis, sedangkan Hak-hak dasar jelas dan tegas merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-undang Dasar, sehingga konotasinya lebih yuridis sifatnya. Skema di bawah ini menggambarkan perbedaan tersebut ( Hadjon, 1988 : 252 ).



Mensenrechten
Human Rights

Nasional International
Positieve recht ius constituendum
The Universal Declaration of Human rights diciptakan oleh suatu badan politik internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dari arena politik PBB ini dan sebanyak mungkin diupayakan untuk dituangkan dalam Undang-Undang Dasar (perundang-undangan). Melalui undang-undang sebagai hukum positif, hak-hak manusia itu diterjemahkan menjadi hak-hak positif. Oleh Maurice Craston dikatakan hukum positif ini membutuhkan sistem penafsiran hukum positif dan pelaksanaan hukum positif untuk menjadi suatu realitas. Jadi terjadi proses alih dari isu politik menjai isu hukum (Abdul Gani, 1994 : 3).
Hak-hak dasar sebagaimana yang ditetapkan dalam UUD 45 yang berkaitan dengan kehidupan berkeadilan sosial antara lain, meliputi:
1. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan kewajiban untuk menjunjung hukum;
2. Kesamaan kedudukan dalam pemerintahan dan kewajiban menjunjung pemerintahan tersebut tanpa terkecuali;
3. Berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan;
4. Berhak atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan;
5. Perekonomian merupakan usaha bersama atas dasar kekeluargaan;
6. Penyelenggaraan produksi yang penting bagi negara, yang menguasai hajat hidup orang banyak, bumi, air, dan kekayaan akan dikuasai oleh negara;
7. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan dan bukan kemakmuran orang perseorangan;
8. Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara.
Dalam perkembangannya, UUD 1945 yanag telah mengalami amandemen sebanyak 4 kali, maka pada amandemen ke-2 atas UUD 1945 telah ditetapkan bab baru, yaitu bab X A yang mengatur hak asasi manusia (pasal 28 a sampai pasal 28 j). Hak-hak dasar yang diakui sebagai hak asasi manusia ini lebih lanjut diterjemahkan kedalam undang-undang, seperti terdapat dalam UU HAM, sedangkan yang berkaitan dengan hak atas tanah diatur dalam UUPA. Adapun hak-hak atas tanah menurut pasal 16 ayat (1) UUPA adalah :
a. Hak milik.
b. Hak guna usaha.
c. Hak guna bangunan.
d. Hak pakai.
e. Hak sewa.
f. Hak membuka tanah.
g. Hak memungut hasil hutan.
h. Hak-hak lain, yang tidak termasuk hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Secara garis besarnya hak-hak atas tanah tersebut dapat dikelompokkan menjadi :
1. Hak-hak atas tanah yang bersifat tetap, yang meliputi hak-hak atas tanah yang disebutkan pada huruf a sampai dengan huruf g. Hak-hak ini dikatakan bersifat tetap karena akan tetap terus ada.
2. Hak-hak atas tanah yang akan ditentukan oleh undang-undang. Untuk hak-hak ini sampai saat ini belum ada undang-undang yang mengaturnya diluar UUPA.
3. Hak-hak atas tanah yang sifatnya sementara yang menurut pasal 53 UUPA meliputi hak hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian. Disebut sebagai hak yang bersifat sementara karena eksistensinya pada suatu saat nanti akan dihapuskan, karena mengandung sifat-sifat yang kurang baik bertentangan dengan jiwa UUPA.
2. Konsep "kepemilikan" hak atas tanah
Konsep hukum yang perlu diketengahkan disini sehubungan dengan konsep hukum yang dinamakan "hak" adalah konsep "penguasaan" dan konsep "pemilikan". Konsep hukum disini diartikan "konsep konstruktif dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu aturan hukum atau sistem aturan hukum" (Kusumaatmadja dan Sidharta, 2000 : 75).
Kita tidak bisa dibayangkan apabila ada suatu sistem hukum yang tidak mengakui dan mengatur mengenai penguasaan. Dalam suatu kehidupan bermasyarakat akan mengalami kesulitan apabila anggota masyarakat tidak memperoleh kesempatan untuk menguasai barang-barang. Justru dengan penguasaan barang-barang akan bisa membawa seseorang untuk bisa masuk ke dalam jaringan kehidupan bersama. Tanpa penguasaan yang demikian itu, seseorang tidak akan bisa mengembangkan hubungan dengan orang lain, bahkan bisa dikatakan seseorang tidak akan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya secara baik tanpa adanya penguasaan barang-barang. Pengusaan ini pada dasarnya bersifat faktual, yaitu yang mementingkan kenyataan pada suatu saat. Penguasaan ini bersifat semtara sampai nanti ada kepastian mengenai hubungannya dengan barang yang dikuasainya itu (Rahardjo, 2000 : 62).
Berbeda dengan penguasaan, maka kepemilikan mempunyai sosok hukum yang lebih jelas dan pasti. Dalam penguasaan yang penting adalah apakah seseorang menguasai suatu barang ialah pertanyaan yang harus dijawab berdasarkan kenyataan yang ada pada waktu itu tanpa perlu menunjuk kepada hukum. Pengusaan hubungan yang nyata antara seseorang dengan barang yang ada dalam kekuasaan. Dengan demikian, dalam penguasaan tidak memerlukan legitimasi lain kecuali bahwa barang itu ada di tangan seseorang. Kalau kepemilikan memerlukan legitimasi, sehingga hubungan antara seseorang dengan objek yang menjadi sasaran kepemilikan terdiri dari suatu kompleks hak-hak (Rahardjo, 2000 : 64). Menurut P.J Fitgerald ciri hak yang termasuk dalam kepemilikan adalah :
1. Pemilik mempunyai hak untuk memiliki barangnya. Meskipun dia dalam kenyataannya tidak memegang atau menguasai barang itu, maka hak atas barang itu tetap ada pada ia.
2. Pemilik mempunyai hak untuk menggunakan hak dan menikmati barang yang dimilikinya, sehingga kemerdekaan pada pemilik untuk berbuat terhadap barangnya
3. Pemilik mempunyai hak untuk menghabiskan, merusak atau memindahkan/menyerahkan barangnya. Pada orang yang menguasai suatu barang, maka hak untuk memindahkan/menyerahkan tidak ada karena adanya asas "tiada seseorang pun dapat memindahkan hak yang lebih daripada yang dipunyainya".
4. Kepemilikan mempunyai ciri tidak mengenal jangka waktu. Ciri ini membedakan dengan penguasaan, karena untuk penguasaan perlu penentuan statusnya lebih lanjut di kemudian hari. kemilikan secara teoritis berlaku untuk selamanya.
5. Kepemilikan mempunyai ciri yang bersifat sisa. Seorang pemilik tanah bisa menyewakan tanahnya kepada orang lain, bisa memberikan hak kepada orang lain untuk melintasi tanahnya, atau memberikan hak-hak yang lainnya kepada orang lain maka ia tetap memilik hak atas tanah itu terdiri dari sisanya sesudah hak-hak itu ia berikan kepada orang-orang lain (Raharjo, 2000 : 65).
Menurut C.B Macpherson, hakekat kepemilikan adalah bahwa :
1. kepemilikan adalah suatu hak dalam arti suatu klaim yang dapat dipaksakan, dan 2. Meskipun sifat klaim yang dapat dipaksakan itu membuat hak tersebut menjadi hak menurut hukum, namun ciri dapatnya dipaksakan itu sendiri tergantung pada keyakinan masyarakat bahwa itu adalah moral (Macpherson, 1978 : 14). Kepemilikan adalah suatu hak bukanlah suatu barang. Kepemilikan adalah hak perorangan. Kepemilikan itu adalah tuntutan yang dapat dipaksakan dan diciptakan oleh negara (Macpherson, 1978 : 234).
Penghormatan kepemilikan hak atas tanah haruslah diperhatikan dalam pengadaan tanah untuk pembangunan. Pertanyaannya adalah prinsip penghormatan yang diberikan terhadap kepemilikan hak atas tanah (obyek) atau kepada pemegang kepemilikan hak atas tanah (subyek)? Dengan melihat konstitusi, maka konstitusi menjamin hak kepemilikan seseorang (subyek) atas tanah (obyek) yang merupakan hak ekonominya. Oleh karena itu, lebih tepat prinsip penghormatan diberikan kepada subyek sebagaimana yang termuat dalam pasal 28 h ayat (4) UUD 1945 (Amandemen II), yang berbunyi: "setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil oleh siapapun".
Sebenarnya kewenangan negara mencabut hak pemilikan hak atas tanah seseorang bersumber pada 2 hal:
1. Pengertian hak milik (eigendom) sebagaimana yang diatur dalam pasal 570 Burgelijk Wetboek (BW), dan beberapa ketentuan agraria di jaman Hindia Belanda.
2. Prinsip "fungsi sosial " dari hak atas tanah.
Pasal 570 BW menyatakan " hak milik adalah hak untuk menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya asal tidak dipergunakan bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk itu dan asal tidak menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain. Kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya pencabutan hak itu untuk kepentingan umum, dengan pembayaran pengganti kerugian yang layak dan ketentuan undang-undang".
Dengan dikuasainya suatu benda berdasarkan hak milik atas seseorang pemegang hak milik diberikan kewenangan untuk menguasainya secara tentram dan untuk mempertahankannya terhadap siapapun yang bermaksud untuk mengganggu ketentramannya dalam menguasai, memanfaatkan, serta mempergunakan benda tersebut (Mulyadi dan Widjaya, 2000 : 191). Namun dalam penggunaan hak milik didasarkan pada pembatasan : 1. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 2. Tidak mengganggu hak orang lain. 3. Bisa dilakukan pencabutan hak demi kepentingan umum dengan penggantian kerugian yang layak.
Dalam sejarah hukum agraria, pada jaman Hindia Belanda telah diterbitkan ketentuan mengenai pertanahan, yaitu Agrarische Wet (S.1870 no. 55) pada tanggal 9 April 1870, yang kemudian dilengkapi dengan Agrarische Besluit (S. 1870 No. 118) yang ditetapkan pada tanggal 20 Juli 1870. Melalui Agrarische Besluit pemerintah belanda mempunyai alasan yang kuat untuk melakukan penguasaan tanah yang ada di Indonesia melalui asas domein verklaring. Menurut asas ini, setiap tanah yang ada di kawasan Hindia Belanda yang tidak bisa dibuktikan siapa pemiliknya harus dianggap sebagai tanah negara.
Dalam penerapan secara proporsional untuk mengambil tanah-tanah yang dikuasai penduduk bilamana diperlukan untuk keperluan tertentu telah dikeluarkan Govermement Besluit 1893 No. 11 (Bijblad No. 4909) yaitu peraturan tentang pengambilan tanah untuk keperluan pemerintah. (Abdurrahman, 1995 : 2).
Namun, pada tanggal 1 Juli 1927, peraturan ini dicabut dan digantikann dengan yang baru yaitu Govermement Besluit tanggal 1 Juli 1927 No. 7 (Bijblad No.11372) yang kemudian diperbaiki dengan Govermement Besluit tanggal 8 Januari 1932 No. 23 (Bijblad No. 12746). Peraturan ini berlaku cukup lama hampir setengah abad hingga saat dicabut oleh Mnteri Dalam Negeri pada tahun 1975 (Abdurrahman, 1995 : 3). Prinsip dasar dalam peraturan mengenai pengambilan tanah untuk keperluan pemerintah harus diselenggarakan dengan persetujuan pemiliknya. Dengan Demikian, yang diatur dalam ketentuan ini bukan di maksudkan sebagai onteigening ( pencabutan hak ) yang di atur dalam Onteigening Ordonnatie tanggal 31 Juli 1920( S. 1920 No.574).
Kedua peraturan tersebut Governement Besluit dan Onteigening Ordonnatie mengatur dua hal yang berbeda, namun keduanya tidak dapat di pisahkan. Apa yang di atur dalam Governement Besluit itu dikenal dengan "pembebasan tanah", sedang yang di atur dalam Onteigening Ordonnatie di kenal dengan " pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum ".Menurut Abdurrahman", pembebasan tanah mengandung makna sebagai perbuatan melepaskan hubungan hukum yang semula yang terdapat di antara pemegang hak/mereka yang menguasai tanah dengan cara pemberian penggantian kerugian atas dasar musyawarah dengan pihak yang bersangkutan, sedangkan "pencabutan hak" ialah pengambilan tanah kepunyaan suatu pihak oleh negara secara paksa, yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi habis, tanpa yang bersangkutan melakukan suatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi suatu kewajiban hukum (Abdurrahman, 1991 : 10).
Tanah memiliki fungsi sosial merupakan antitesa hukum tanah barat, yang menganut konsep individualistik - liberal pada abad XIX. Pengertian "fungsi sosial" sebagai reaksi dari penerapan dan penggunaan hak milik secara terlalu mutlak dan formalistis dimasa puncak perkembangan kapitalisme dan industrialisme di Eropa.
Dengan adanya konsep"fungsi sosial" ini, maka hak milik tidak lagi di pandang sebagai " droit inviolable et sacre ", yaitu yang tidak dapat di ganggu gugat. Konsepsi hukum tanah yang didasarkan pada konsep individualistik - liberal tentu ditolak, karena jika individu diberi kebebasan dalam pemilikan tanah tanpa ada intervensi negara akan terjadi praktek akumulasi tanah tanpa batas, yang berkembang menjadi monopoli penguasaan tanah pada segelintir orang dan ketidakmerataan penguasaan dan pemanfaatan. Unsur masyarakat atau kebersamaan dalam penggunaan tanah agar tidak terjadi akumulasi dan monopoli tanah oleh segelintir orang. Kebebasan individu di kurangi dan di masukkan unsur kebersamaan kedalam hak individu. Dalam hak individu (hak perorangan) ada hak kebersamaan, inilah yang di sebut tanah mempunyai fungsi sosial.
Dalam perkembangannya ternyata istilah "fungsi sosial" ini digunakan dalam konteks dan untuk kepentingan apa saja dalam rangka pencabutan hak atas tanah milik rakyat. Prinsip "fungsi sosial" justru dipakai sebagai landasan yuridis negara untuk mengambil ahli atau mencabut hak atas tanah yang dimiliki dan dikuasai rakyat untuk kepentingan umum. Hak milik atas tanah memegang peranan yang penting bagi kehidupan ekonomi seseorang, sehingga fungsi sosial yang dikaitkan pada hak milik atas tanah tentu dihubungkan dengan usaha mencari nafkah dan penghidupan yang layak. Hak milik bersumber pada kenyataan hidup, bahwa untuk menghidupi diri sendiri, barang-barang tertentu harus dimiliki, karena bagi manusia ada sekelompok barang yang tertentu yang merupakan kebutuhan bagi kelangsungan hidup manusia. Dengan demikian, penghormatan hak milik atas tanah seseorang berkaitan dengan pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan " tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ". Penegakan kedua hak dasar ini memberikan pemahaman, bahwa jangan sampai penyelenggaraan kepentingan umum diselenggarakan dengan mengorbankan hak perseorangan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Oleh karena itu, ketentuan hak dasar dalam pasal 27 ayat (2) UUD 1945 merupakan ukuran penting dalam menentukan batas toleransi penyampingan atau pencabutan kepemilikan hak atas tanah seseorang demi kepentingan umum. Pengurangan atas pencabutan kepemilikan hak atas tanah seseorang tidak boleh mengakibatkan akan kehilangan pekerjaan atau penghidupan yang layak, atau sangat dikurangi kemampuan dan kemungkinan untuk menikmati penghidupan dan pekerjaan yang layak.
Kalau memang tidak ada jalan lain dari pada mencabut kepemilikan hak atas tanah seseorang, maka orang yang dicabut atau dikurangi kepemilikannya harus diganti hakmya sedemikian rupa, sehingga ia akan terjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dengan demikian, sampai kita pada masalah ganti rugi akibat adanya pencabutan kepemilikan hak atas tanah seseorang.
Kata-kata "kepentingan umum" dan "pembangunan" merupakan alat efektif untuk melegitimasi penyediaan tanah seluas-luasnya oleh negara untuk kepentingan investasi. Pengertian "pembangunan" itu sendiri jangan disalah artikan pertumbuhan plus perubahan. Perubahan mencakup segala aspek kehidupan, yaitu sosial, ekonomi, dan budaya, serta bersifat kualitatif dan kuantitatif. Konsep utama "pembangunan" pada dasarnya "perbaikan mutu kehidupan". Oleh karena itu, tumbuh pertanyaan: apakah pengambil alihan tanah rakyat selama ini atas nama pembangunan meskipun diberikan ganti rugi benar-benar menciptakan perbaikan mutu kehidupan rakyat? Sebenarnya, ganti rugi itu bisa bersifat fisik dan bersifat non fisik. Oleh karena itu, dalam persoalan pemeberian ganti rugi bagi pencabutan kepemilikan hak atas tanah juga harus memperhatikan kedua kerugian tersebut, terutama untuk ganti rugi non fisik. Kerugian yang non fisik meliputi hilangnya pekerjaan, bidang usaha, sumber penghasilan dan sumber pendapatan lain yang berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan seseorang. Ganti kerugian non fisik ini bersifat komplementer terhadap ganti kerugian yang bersifat fisik.
E. Penutup
Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum (negara hukum). Menurut Abdul Hakim G, Nusantara, bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi agar negara hukum bisa terwujud adalah :
1. Adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.
2. Adanya pembagian kekuasaan yang seimbang (sistem check and balance) antara lembaga eksekutif, legislatif, yudisiil.
3. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah.
4. Tindakan -tindakan pemerintah harus senantiasa didasarkan atas hukum positif yang berlaku.
5. Adanya lembaga peradilan yang bebas dan mandiri.
6. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia.
7. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran masyarakat (Nusantara, 1988 : 12-14)
Oleh Philipus M. Hadjon negara hukum Indonesia dirumuskan sebagai negara hukum Pancasila yang jiwa dan isinya tidak begitu saja mengalihkan konsep "rule of law" atau konsep"rechtsstaat" menempatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak dasar sebagai titik sentral, sedangkan untuk negara Republik Indonesia - pada waktu pembahasan UUD 1945 - tidak dikehendaki masuknya hak-hak asasi manusia ala Barat yang individualistis sifatnya. Bagi negara Republik Indonesia, yang menjadi titik sentral adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas keturunan (Hadjon, 1988 : 265).
Bertitik tolak dari pemahaman negara hukum yang esensi pokok adalah pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak dasar yang berkaitan dengan kepemilikan hak atas tanah, maka persoalan pencabutan hak atas tanah tentu harus memperhatikan perlindungan hak dasar sesorang yang terkait.
Permasalahan "kepentingan umum" dalam pencabutan hak atas tanah perlu dipahami secara hati-hati dalam konteks perlindungan hak asasi manusia. Kepentingan umum ini merupakan hal yang abstrak, mudah dipahami secara teoritis tetapi menjadi sangat kompleks ketika diimplementasikan. Menurut Maria S.W. Sumardjono kepentingan umum dapat dijabarkan melalui dua cara : Pertama, berupa pedoman umum yang menyebutkan bahwa pengadaan tanah dilakukan berdasarkan alasan kepentingan umum melalui berbagai istilah. Karena berupa pedoman, hal ini dapat mendorong eksekutif secara bebas menyatakan suatu proyek memenuhi persyaratan kepentingan umum, Kedua, penjabaran kepentingan umum dalam daftar kegiatan. Dalam praktek kedua cara ini sering ditempuh secara bersamaan (Sumardjono, 2005 : 4).
Dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 definisi kepentingan umum hanya didefinisikan sebagai "kepentingan sebagian besar masyarakat". Sementara didalam, Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 selanjutnya (ditulis Keppres No. 55 Tahun 1993) - peraturan yang digantikan oleh Perpres No. 36 Tahun 2005 - mendefinisikan kepentingan umum sebagai "kep[entingan seluruh lapisan masyarakat". Definisi kiepentingan umum dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 justru lebih maju karena disebutkan bahwa ada 3 faktor yang menjadi dasar kepentingan umum, yakni dilakukan pemerintah, dimiliki pemerintah, dan tidak unutk mencari kepentingan.
Dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 mengatur jenis pembangunan untuk kepentingan umum sejumlah 14 jenis. Jenis pembangunan itu harus memenuhi unsur dimiliki pemerintah, dilaksanakan oleh pemerintah, dan tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Sedangkan dalam Perpres No. 35 Tahun 2005, proyek yang dikategorikan sebagai kepentingan umum telah berkembang menjadi 21 jenis, penambahan mencakup jalan tol, sarana olah raga, rumah susun sederhana, tempat pembangunan sampah dan pertanaman.
Dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 ini juga tidak mencantumkan syarat "tidak untuk mencari keuntungan". Sebenarnya konsep negara hukum menekankan bahwa esensi penting dalam proses pencabutan hak atas tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum adalah adanya partisipasi masyarakat dan adanya hak siapapun untuk mengggunakan jalur pengadilan. Definisi kepentingan umum adalah sesuatu yang abstrak, sehingga tidak bisa satu pihak mengklaim apa yang dilakukan itu untuk kepentingan umum. Dengan demikian, kalu ada gugatan terhadap klaim tersebut, maka menjadi tugas pengadilan untuk memutuskan apakah klaim itu benar atau tidak untuk kepentingan umum. Dalam keadaan ini, rumusan kepentingan umum dilihat dari kasus per kasus. Kalau putusan pencabutan hak atas tanah sudah ditetapka oleh Presiden diikuti oleh gugatan kepengadilan, maka siapapun tidak boleh melakukan aksi sepihak dan semua pihak harus menghormati putusan pengadilan.
Substansi persoalan pencabutan kepemilikan hak atas tanah ini bersinggungan dengan persoaalan hak asasi manusia, sehingga wadahnya bukan dalam bentuk peraturan Presiden melainkan dalam bentuk undang-undang. Undang-Undang nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan dalam pasal 8 menyatakan : "Materi muatan yang harus diatur dalam undang-undang berisi hal-hal yang :
a. mengatur lebih lanjut ketentuan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang meliputi :
1. Hak asasi manusia.
2. Hak dan kewajiban warga negara, dst.
Jadi sebenarnya dengan mengacu pada UU No.10 Tahun 2004, Perpres No. 36 Tahun 2005 tidak mempunyai validitas yuridis.
Oleh karena itu, seyogyanya penetapan kegiatan apapun yang bersifat kepentingan umum dilakukan oleh legislatif, pelaksanaanya dilakukan oleh eksekutif, dan putusan atas keberatan atau sengketa kepentingan umum ditetapkan oleh pengadilan (implementasi sistem check and balance).
Daftar Pustaka
A. Buku :
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah Di Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1991.
Ali,Achmad, Menguak Tabir Hukum, Candra Pratama, Jakarta, 1996
Kusumaatmadja, Mochtar dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum (Buku I), Alumni, Bandung, 2000.
Mas, Marwas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004.
Macpherson, C.B., Pemikiran Dasar Tentang Hak Milik, Yayasan LBH Indonesia, Jakarta, 1978.
Mulyadi, Kartini dan Gunawan Widjaya, kebendaan Pada Umumnya, Kencana, Bogor, 2003.
Nusantara, Abdul Hakim G., Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta, 1998.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Cet. V, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Wignjosoebroto, Soetandjo, Hukum (Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya), ELSAM, Jakarta, 2002.
B. Jurnal :
Abdurrahman, H., Pengaturan Tentang Pengambilan Tanah Untuk Kepentingan Umum Dari Masa Ke Masa", Trisakti, No. 19 Th XX Juli 1995, 1-12
Hadjon, Philipus M., "Hak-Hak dan Kewajiban Dasar", Yuridika, No. 5 Th. III November 1988, 251-266.
Makalah:
Abdul Gani, Hubungan Antara Politik, Hak Asasi Dan Pembangunan Hukum Indonesia, Makalah pada simposium dalam Rangka Dies Natalis XL Unair, 3 November 1994.
C. Surat Kabar :

"Presiden Bisa Mencabut Hak Atas Tanah", Kompas, 8 Mei 2005.
"Perpres Membuat Warga di Lahan BKT Makin Resah", Kompas, 9 Mei 2005.
"Perpres Pencabutan Hak Atas Tanah : Langkah Mundur, Kembali ke Masa Orde Baru", Kompas, 9 Mei 2005.
Sumardjono, Maria S.W., "Perpres No 36/2005 : Dampaknya Bagi Kepentingan umum", Kompas, 16 Juni 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar